Jakarta – Kelompok warga adat dengan syarat Merauke, Papua Selatan, menyuarakan penolakannya terhadap Proyek Vital Nasional (PSN) food estate di area tempat mereka. Mereka berunjuk rasa mendatangi Kantor Kementerian Defense pada Rabu, 16 Oktober 2024, menuntut proyek dihentikan.
“Proyek berlangsung brutal, tanpa ada sosialisasi juga tanpa didahului konsultasi mendapatkan kesepakatan persetujuan penduduk adat,” kata Pastor Pius Manu, tokoh agama serta pemilik tanah adat pada konferensi pers usai unjuk rasa itu dalam Jakarta, Rabu 16 Oktober 2024.
Seperti diketahui, food estate Merauke masuk daftar PSN per November 2023. PSN tepatnya bernama ‘Kawasan Pengembangunan Pangan serta Energi Merauke pada Provinsi Papua Selatan’, yang dipromosikan juga dicanangkan seluas lebih lanjut dari 2 jt hektare pada Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP).
Pada praktiknya, PSN food estate Merauke terbagi menjadi dua. Pertama, proyek cetak sawah baru serta tumbuhan lain yang dimaksud dikelola oleh Kementerian Keamanan serta Kementerian Pertanian, dan juga perusahaan swasta Jhonlin Group dengan lahan seluas total satu jt hektare.
Kedua, pengembangan perkebunan tebu kemudian bioetanol yang digunakan dikelola 10 perusahaan dengan lahan seluas lebih tinggi dari 500 ribu hektare. Bagian ini ditetapkan didukung Satgas Percepatan Swasembada Gula kemudian Bioetanol. (Baca lebih banyak lengkap di tempat laporan premium: Adu Cepat sekali Prabowo serta Jokowi di dalam Food Estate Merauke)
Secara keseluruhan, Pastor Pius menerangkan, kawasan food estate Merauke itu terdiri dari lima klaster kemudian tersebar dalam 13 wilayah distrik. Seluruhnya berada pada wilayah penduduk adat Malind, Maklew, Khimaima, kemudian Yei. Diperkirakan, ada lebih tinggi dari 50 ribu penduduk asli yang mana berdiam dalam 40 kampung di tempat di juga sekitar lokasi proyek PSN Merauke.
Menurut Pastor Pius, kendaraan berat masuk ke wilayah adat lalu menggusur juga menghancurkan hutan alam, dusun, dan juga rawa. Pergerakan merekan dikawal aparat keamanan dari polisi lalu TNI. Tanda adat yang sempat dibuat sebagai larangan malah dilabrak begitu saja.
“Kami terluka serta berduka lantaran tanah kemudian hutan adat, tempat hidup binatang juga tempat sakral Alipinek yang digunakan kami lindungi, yang diwariskan oleh leluhur kami, dihancurkan tanpa tersisa,” kata Yasinta Gebze, perwakilan warga adat terdampak dari Kampung Wobikel, Distrik Ilwayab, Kota Merauke, menambahkan.
Sedangkan pada Distrik Jagebob serta Senayu, lokasi akan segera perkebunan tebu, aliansi Global Papua Abadi (GPA) Group juga disebut tidaklah menunjukkan komitmen usaha berkelanjutan untuk bukan melakukan deforestasi. Perusahaan juga dituding tidaklah menghormati hak-hak warga adat.
Vincent Kwipalo, warga Suku Yei, menyebutkan perusahaan itu juga menggunakan aparat keamanan serta kelompok tertentu untuk menekan masyarakat, merayu, serta menjanjikan kompensasi uang. Tujuannya, warga bersedia menyerahkan tanah.
“Kami tidaklah jual tanah adat,” kata Vincent. Ditegaskannya, “Hutan kemudian dusun milik marga tak luas, kami mau kelola sendiri untuk mata pencarian lalu sumber pangan hingga anak cucu.”
Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat yang mana juga salah satu founder Satya Bumi, menyatakan kebijakan serta pelaksanaan PSN food estate Merauke tanpa sosialisasi yang jelas kemudian cenderung tertutup. PSN juga tiada menghormati otoritas serta norma adat dikarenakan tanpa ddahului kajian sosial serta lingkungan hidup.
Menurut Franky, penggusuran, penghancuran lalu penghilangan hutan, dusun,
rawa, kemudian lahan gambut pada skala luas akan meningkatkan krisis lingkungan, yang dimaksud sedang menjadi sorotan warga dunia. “Areal cetak sawah baru sejuta hektare lalu perkebunan tebu GPA Group, masing-masing, berlokasi pada kawasan hutan dan juga area moratorium izin atau Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB),” tutur Franky.
Disebutkannya, lebih besar dari 30 persen atau sekitar 145.644 hektare areal GPA Group berada di area PIPIB. “Karenanya proyek ini mempunyai risiko lingkungan hidup utamanya meningkatkan emisi gas rumah kaca, yang mana secara kumulatif meningkatkan krisis ekologi.”
Selain itu, Franky juga menambahkan, izin perusahaan GPA sebagian besar berada di tempat wilayah adat Yeinan seluas 316.711 hektare serta berisiko memberi dampak sosial perekonomian serta budaya.
Juru bicara Solidaritas Merauke serta pegiat LBH Papua Pos Merauke, Teddy Wakum, menyatakan prinsip serta ketentuan perkembangan berkelanjutan mewajibkan perencana dan juga pelaksana perkembangan miliki dokumen lingkungan. Juga melaksanakan kajian penilaian kawasan bernilai konservasi tinggi kemudian penilaian ketersediaan karbon tinggi, dan juga menerapkan prinsip FPIC (Free Prior Informed Consent).
Menurut dia, gempuran proyek PSN Merauke juga usaha ekstraksi sumber daya alam seluas lebih tinggi dua jt hektare dipastikan akan mendatangkan lalu memobilisasi penduduk baru dari luar tanah Papua. Hal ini mengancam terjadinya depopulasi lalu marginalisasi, yang dimaksud pada gilirannya menghilangkan identitas sosial budaya orang asli Papua kemudian tersingkir secara sosial ekonomi, yang tersebut disebut etnosida.
“Proyek PSN Merauke harus dihentikan dikarenakan melanggar konstitusi dan juga peraturan yang
berkenaan dengan hak hidup, hak warga adat, hak menghadapi tanah, hak bebas berpendapat, hak berhadapan dengan pembangunan, hak menghadapi pangan dan juga gizi, hak berhadapan dengan lingkungan hidup yang dimaksud baik juga sehat, dan juga prinsip tujuan penyelenggaraan berkelanjutan,” kata Teddy menguraikan.
Sebelumnya, Kementerian Pertanian mengklaim telah lama merampungkan acara optimasi lahan rawa seluas 40 ribu hektare pada Merauke. Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana serta Sarana Pertanian (PSP), Hermanto, mengungkapkan dengan selesainya proses kontruksi optimasi lahan ini, petani dapat secara langsung mengolah lahan itu untuk menambah produksi padi.
Pilihan Editor: WMO Cemaskan Gangguan Siklus Air pada Bumi yang digunakan Bikin Sebagian Banjir Bandang, Sebagian Kekeringan